Menguak Fenomena Diskriminasi Gender dan Feminisme dalam Film "Kim Ji-Young Born in 1982"
Feminisme dimaknai sebagai sebuah serangkaian gerakan sosial, gerakan politik, dan ideologi yang memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mendefinisikan, membangun, dan mencapai kesetaraan gender di lingkup politik, ekonomi, pribadi, dan sosial. Hodgson-Wright (2006), mengemukakan bahwa feminisme adalah gerakan untuk menghadapi patriarki pada tahun 1550-1700 di Inggris, yang kemudian semakin berkembang menjadi sebuah gerakan untuk memperjuangkan keadilan karena adanya diskriminasi gender.
Seiring waktu, isu feminisme kian mendapat tempat tersendiri dalam masyarakat, seperti lewat media film yang telah banyak mengangkat tema feminisme melalui dialog, maupun simbol-simbol secara tersurat di dalamnya. Film sendiri dipercaya sebagai alat komunikasi paling efektif guna menyampaikan pesan pada masyarakat, karena film menjadi cerminan dari masyarakat yang menciptakan mereka. Film juga dapat menjadi alat propaganda yang muncul dengan mengangkat isu-isu krusial. Film-film bertema feminisme dibuat sebagai alat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai perempuan yang masih diposisikan inferior, serta membantu perkembangan feminisme menjadi salah satu tren produk media massa.
Melalui film Kim Ji Young Born in 1982, feminisme hadir dengan menceritakan kehidupan pribadi Kim Ji Young sebagai perempuan yang dilahirkan di Korea Selatan pada tahun 1982, yang dalam kehidupannya harus menerima perlakuan diskriminatif akibat adanya ketidaksetaraan gender yang mengurung Kaum Hawa di Korea Selatan. Kim Ji-young adalah cerminan dari sekian banyak wanita karir pekerja keras yang terpaksa harus berhenti merintis karirnya demi menjadi ibu rumah tangga terutama setelah ia melahirkan anak. Memulai kehidupan baru dengan berurusan setiap hari bersama pekerjaan domestik rumah hingga mengurus anak, justifikasi dari orang-orang sekitar, tekanan sosial dari masyarakat, keluarga pihak ayah dan pihak mertua, pelecehan seksual yang pernah dialami, sampai di titik stres akibat rasa frustasi yang terpendam, dan cita-cita yang terpaksa ia gantung, menenggelamkannya perlahan hingga ia kehilangan jati dirinya. Depresi yang dialami berdampak pada kondisi psikis Kim Ji-young, yang membuatnya harus rutin berkunjung ke psikiater. Hal ini membuktikan bahwa dalam suatu masyarakat masih terdapat fenomena sosial bernama glass ceiling. Di mana fenomena ini membuat perempuan dan kaum minoritas sulit memiliki peluang untuk berkembang menapaki karir yang lebih tinggi di sektor publik atau pekerjaan. Adanya glass ceiling ini juga menandakan bahwa marginalisasi perempuan di ranah domestik telah mengakar kuat dan sulit diruntuhkan.
Di Korea Selatan sendiri, film ini sempat menuai kontroversi dan mendapat kecaman dari masyarakat korea sebelum kemudian ditayangkan pada tahun 2019. Hal ini menunjukan bahwa di Korea Selatan masih sangat konservatif terkait isu gender meski telah menjadi negara modern. Namun, hadirnya film ini seiring waktu juga membuat pemerintah korea akhirnya berusaha berbenah terkait isu kesetaraan gender dengan mengumumkan rencana menghapus hambatan-hambatan kerja bagi perempuan serta akan mendorong kampanye sosial agar para ayah lebih berkontribusi dalam mengurus anak dan rumah tangga.
Dalam Antropologi, hadir pula istilah Antropologi Feminis yang menunjukan bahwa ada banyak aspek sosial terkait kehidupan perempuan, baik dari segi pembangunan, dunia kerja, dan keluarga yang masih menjadi masalah. Dari aspek pembangunan, perempuan menjadi sasaran utama pembangunan, tetapi suara mereka tidak memiliki tempat dalam rencana program (Nurhayati, 2010). Karena suara mereka dianggap diwakili oleh kaum laki-laki dan diam mereka dianggap selalu setuju. Dalam hal ini, Ardener (1975:5) mengungkapkan dalam Mute Group Theory-nya, yang menurutnya kebungkaman bukan berarti diam, bukan pula karena perempuan terabaikan. Sebenarnya perempuan berbicara, aktivitas mereka diobservasi secara rinci oleh peneliti, tapi mereka tetap dibungkam (muted) karena model realitas yang ada. Dewasa ini, masalah kesetaraan gender perlahan mulai diperhatikan dan bahkan telah menjadi topik yang diperbincangkan hingga ranah internasional seperti muncul dalam tujuan SDGs ke-5. Kesetaraan gender akan memperkuat kemampuan negara untuk berkembang, mengurangi kemiskinan, dan memerintah secara efektif. Dengan demikian mempromosikan kesetaraan gender adalah bagian utama dari strategi pembangunan dalam rangka untuk memberdayakan masyarakat (semua orang)—perempuan dan laki-laki—untuk mengentaskan diri dari kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup mereka.
REFERENSI
Kaestiningtiyas, I., Safitri, A,. & Amalia, G. F. "Representasi Gender Inequality dalam Film Kim Ji-Young, Born 1982 (Analisis Wacana Kritis Sara Mills)". Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol. 10. No. 1 (2021): 48-53.
Maimunah, Inas. 2021. "Marginalisasi Perempuan Dalam Film Kim Ji Young Born 1982". Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Jurusan Ilmu Komunikasi. Universitas Sriwijaya. Palembang.
Komentar
Posting Komentar