Ebeg: Kesenian Tari Khas Banyumas yang Memiliki Unsur Mistis

sumber: blog unnes

Banyumas merupakan salah satu Kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Tengah yang menyimpan beragam budaya, kesenian, maupun tradisi yang menggambarkan karakteristik dari wilayah Banyumas itu sendiri. Salah satunya yaitu, kesenian Ebeg atau Kuda Lumping yang merupakan warisan kesenian sejak sebelum Hindu-Budha atau sejak saat masyarakat mempercayai animisme-dinamisme. Dinamakan Kuda Lumping karena kesenian ini menggunakan peraga anyaman-kuda-kudaan yang dipakai oleh para penarinya, hal itu konon memiliki makna seperti seorang prajurit yang sedang menunggang kuda, dan menggambarkan kegigihan serta semangat juang para prajurit. 

Tari ebeg tergolong sebagai warisan budaya yang sangat tua karena diperkirakan sudah ada sejak masa perkembangan kepercayaan animisme-dinamisme sekitar abad ke 9 yang tidak lepas dari adanya kepercayaan terhadap adanya roh nenek moyang dalam benda-benda ataupun dapat merasuki seseorang. Hal yang menguatkan asumsi ini adalah adanya kesurupan atau trance tersebut yang merupakan ciri dari kesenian yang terlahir di masa itu. Kemudian kesenian ebeg terus berkembang dan berlanjut hingga muncul di zaman Pangeran Diponegoro dengan dipentaskan secara agresif dan gagah sebagai bentuk optimisme rakyat dalam melawan penjajah Belanda. Selanjutnya ketika memasuki masa Islam di Nusantara, ebeg juga berperan sebagai salah satu alat untuk menyebarkan agama Islam oleh para wali, dengan pendekatan budaya kesenian. Hingga sampai saat ini, ebeg telah ditetapkan menjadi salah satu warisan budaya tak benda Indonesia yang perlu dijaga kelestariannya, agar bisa terus eksis hingga ke generasi mendatang.

    Kesenian ebeg ini memiliki keunikan tersendiri dimana di puncak pertunjukan akan menampilkan para pemain ebeg yang mengalami trance atau kesurupan. Pada saat itu, tubuh pemain ebeg akan diisi oleh roh binatang yang mengendalikan tubuh para pemain. Dengan mengundang roh jaran maka tariannya diberi nama Sanghyang Jaran (Wiyoso, 201:2) (Kusumaningrum, 2016). Namun, di daerah Banyumas sendiri, roh-roh binatang yang diundang dan memasuki tubuh para pemain tersebut dikenal dengan sebutan indang. Dalam keadaan tidak sadar tersebut, pemain ebeg dapat melakukan aksi-aksi ekstrim seperti memakan hal-hal yang tidak lazim.

Indang tersebut biasanya memang telah dimiliki oleh para pemain, dalam artian, jin tersebut telah menetap bersama pemain, dan akan muncul atau memasuki tubuh pemain jika memang dipanggil oleh dukun yang menangani pemain ebeg tersebut. Namun, tidak menutup kemungkinan pemain ebeg yang memiliki indang juga dapat mengalami kesurupan sewaktu-waktu jika ada sesuatu yang menginisiasi jin tersebut untuk keluar, seperti ketika mendengar alunan musik-musik jawa maupun jika pemain dalam keadaan tertentu, seperti ketika melamun dan pikirannya kosong.  Indang juga biasanya diperoleh melalui serangkaian ritual yang dilakukan oleh pemain dan dibantu oleh seorang dukun juga.

 Pertunjukan ebeg sendiri biasanya diselenggarakan ketika ada sebuah hajatan ataupun pentas kesenian dalam rangka peringatan hari-hari besar seperti HUT Banyumas dan digelar di tempat yang luas seperti lapangan atau halaman yang dapat memuat banyak orang baik dari pemain ebeg sendiri dan juga untuk menampung para penonton pertunjukkan. 

Prosesi dalam kesenian ebeg tentunya tidak hanya menampilkan pemain kesurupan tersebut. Tari ebeg memiliki rangkaian prosesi atau tahapan tersendiri yang tidak kalah menariknya sebelum memasuki babak klimaks berupa janturan atau kesurupan tersebut. Pada kesenian ebeg, tahapan yang menjadi pembuka adalah berupa tari persembahan yang melambangkan pemberian hormat kepada penonton. Pada tahap ini, para pemain ebeg berbaris teratur dan menari seirama dengan musik pengiringnya, yang berupa gamelan dan tembang-tembang jawa dari sinden. Pemain juga menggunakan atribut tari berupa kuda kepang atau kuda lumping. Menurut penuturan warga sendiri, atribut kuda kepang yang asli sebenarnya memiliki isi jin di dalamnya yang juga berhubungan untuk mengendalikan tarian pemain. Namun, pemain yang memilikinya biasanya pemain yang sudah mendalami ebeg sejak lama, atau bisa dikatakan sudah senior, pemain-pemain baru biasanya hanya memiliki kuda kepang biasa.

Tahapan selanjutnya adalah Bandan atau Tole-Tole, yang mana pada tahap ini ada salah satu pemain yang dimasukan dalam kurungan selama beberapa saat dan kurungan tersebut ditutupi kain hitam, kemudian dibacakan mantra oleh pawang ebeg sehingga wujudnya berubah cantik. Dalam proses ini memang mengandung unsur mistis yang kental karena pemain yang masuk ke dalam kurungan tersebut pada awalnya sama sekali tidak berdandan atau mengenakan pakaian bagus, dan di dalam kurungannya juga tidak ada atribut apapun. Namun, ketika pawang ebeg selesai membaca mantra, pemain yang berada dalam kurungan tersebut telah berubah cantik seperti berdandan serta mengenakan pakaian adat jawa yang anggun. 

Hingga pada tahapan terakhir, yaitu prosesi Janturan yang merupakan tahap klimaks ketika para pemain ebeg  mengalami trance atau kerasukan dari indang yang dimilikinya atau melalui proses pengundangan jin oleh pawang ebeg tersebut. Dalam proses ini juga pemain akan melakukan aksi-aksi ekstrim, seperti memakan pecahan kaca, memanjat pohon kelapa dengan cepat dan mengoyak serabut kelapa menggunakan gigi, memakan bunga-bungaan yang disediakan, serta melakukan gerakan-gerakan yang menyerupai jin binatang tersebut, seperti menyerupai kera dan kuda. Pemain akan disembuhkan atau dikeluarkan indang-nya jika dirasa tubuh pemain sudah lelah atau kesurupan telah berlangsung cukup lama dan pemain juga telah melakukan banyak aksi ekstrim.

Kesenian ebeg sejatinya tidak hanya berkembang di Banyumas saja, namun juga ada terdapat di wilayah Yogyakarta dengan nama Jathilan dan di Ponorogo dikenal dengan nama Kuda Lumping. Selain itu, di Jawa Timur juga memiliki pertunjukan bernama Jaranan yang hampir sama dengan kesenian Ebeg, perbandingannya terletak pada Laras yang dalam ebeg banyumasan biasanya menggunakan iringan gamelan laras slendro sedangkan jaranan Jawa Timur menggunakan laras pelog. Kemudian jika ebeg Banyumas menggambarkan prajurit perwira, maka jaranan Jawa Timur menggambarkan prajurit tamtama. Yang terakhir adalah perbandingan penggunaan properti, ebeg Banyumas tidak menggunakan properti pecut, sedangkan jaranan Jawa Timur menggunakan pecut saat pertunjukan. 

Dalam kesenian ebeg sendiri, tidak hanya menonjolkan pada nilai kemagisan atau mistisnya saja karena ada adegan-adegan kesurupan. Namun juga didalamnya terdapat berbagai unsur kebudayaan lain yaitu unsur Kesenian yang terdapat pada tariannya yang menggambarkan kegagahan para prajurit perang, unsur seni musik dari pemain pengiringnya yang berupa gamelan-gamelan jawa yang dipadukan dengan tembang-teembang yang dibawakan oleh sinden, dan juga seni rupa yang ditunjukkan melalui penggunaan boneka kuda kepang yang terbuat dari anyaman dan ijuk sebagai  rambutnya, kostum para pemainnya, aksesoris yang dipakai, serta riasan wajah yang dipakai oleh para pemain. Berbagai unsur tersebut bergabung dengan kreativitas para pelaku ebeg hingga bisa menghasilkan sebuah seni pertunjukan yang luar biasa. 

Selain unsur-unsur seni tersebut, Ebeg juga menyimpan unsur kebudayaan seperti unsur religi yang terdapat dalam prosesi janturan, dalam sesi trance atau kesurupan tersebut, dimaknai sebagai warisan kebudayaan di masa perkembangan paham animisme-dinamisme yang menjadi sarana masuknya roh nenek moyang ke dalam tubuh pemain ebeg. Nilai lain yaitu adanya sistem Bahasa, di mana para sinden yang menyanyikan tembang-tembang tersebut menggunakan bahasa jawa Ngapak khas Banyumas yang semakin memperkuat identitas ebeg sebagai kesenian tari khas Banyumas. 

Beberapa orang mungkin menganggap jika kesenian ebeg ini mengandung kemusyrikan dalam islam karena mengandung adanya kepercayaan terhadap jin yang menjadi indang dan merasuki tubuh pemain tersebut serta adanya atraksi memakan kembang dan kemenyan atau dupa. Namun anggapan tersebut dapat dikatakan tidak benar, karena tujuan para pelaku kesenian ebeg justru berusaha mengingatkan manusia bahwa di dunia ini memang terdapat dua macam alam kehidupan, ada yang nyata dan ada pula yang gaib dan sebagai seorang muslim justru kita wajib mengimani fenomena tersebut. 

Selain itu, banyak juga orang yang salah paham  dalam memaknai kesenian ebeg, mereka beranggapan bahwa para pelaku seni ebeg adalah para pemuja roh hewan seperti roh kuda. Padahal, simbol kuda disini hanya diambil filosofi semangatnya. Seperti pada suporter sepak bola di kota malang yang menggunakan penyebutan Singo Edan, tetapi tentu didalamnya tidak mengandung unsur mendewakan hewan tertentu seperti singa tersebut. 

Namun, bahkan jika ditelisik dari faktor sejarah pun, ebeg bahkan dulunya digunakan sebagai sarana penyebaran islam di masa para wali, hal ini tentunya bertentangan dengan pernyataan kemusyrikan serta mendewakan seekor hewan tertentu tersebut. Karena di masa para wali saat hendak menyebarkan islam, kondisi sosial masyarakat jawa masih banyak yang menganut kepercayaan hindu-budha maupun animisme-dinamisme, sehingga ebeg digunakan sebagai alat dengan menggabungkan akulturasi budaya ebeg dengan budaya bernafaskan islam seperti dalam tembang-tembangnya yang ternyata di dalamnya mengandung nilai-nilai islam. Hal ini tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat saat itu, dibuktikan dengan meningkatnya kegemaran masyarakat dalam menonton pertunjukan ebeg serta semakin banyak pula masyarakat yang menjadi penganut Islam di masa itu.

Dalam perkembangan saat ini, ketertarikan masyarakat terhadap ebeg justru semakin surut, hal ini dapat menyebabkan menipisnya nilai-nilai budaya pada generasi muda. Untuk mengembalikan kecintaan masyarakat pada kesenian tradisi dan untuk mengembangkan nila-nilai budaya daerah pada generasi muda, maka diperlukan sinergi antar segenap unsur masyarakat terutama tokoh-tokoh masyarakat dan para seniman ebeg yang masih ada guna melakukan pemeliharaan yang mengarah pada eksistensi kesenian yang sudah semakin surut peminatnya tersebut. 

Menurut Kasi Kesenian, Sastra dan Perfilman DINPORABUDPAR Banyumas, mengatakan minimnya kepedulian masyarakat terutama pada generasi muda, ditengarai menjadi penyebab kian punahnya kesenian tradisional dan tradisi di Banyumas. Bahkan dari sekitar 58 kesenian yang tercatat, 54 diantaranya terancam punah dan tinggal 4 yang masih lestari. Ke-54 kesenian tersebut memang belum sepenuhnya musnah, namun penyebaran dan perkembangannya kian terbatas hingga tidak lagi diketahui oleh generasi muda saat ini. Menurutnya, eksistensi kesenian tersebut berada di ujung tanduk karena selera masyarakat yang telah berubah, salah satunya karena adanya proses globalisasi yang menjadi penyebab perubahan selera masyarakat dalam melihat kesenian sebagai bagian dari identitas masyarakat tersebut. Saat ini, generasi muda lebih menyukai seni pop yang notabene dilahirkan dari barat. 

Gerakan-gerakan dalam seni ebeg bukan sekedar atraksi hiburan semata, tetapi juga memiliki nilai sejarah yang kuat. Oleh karena itu, seni ebeg sangat penting untuk terus dilestarikan karena merupakan bagian dari peninggalan leluhur yang dapat digunakan sebagai sarana pendidikan bagi generasi muda dalam membendung arus negatif pengaruh budaya asing. Jika semakin banyak pihak yang mendukung, maka akan semakin banyak anak muda yang bersedia terjun melestarikan budayanya. Untuk itu, bagi pemerintah, masyarakat, dan semua pihak diharapkan agar dapat menelusuri  kembali kebudayaan apa saja yang hingga saat ini tidak terdengar lagi, untuk kemudian dikembangkan dan dilestarikan kembali keberadaanya. 



REFERENSI

Ismah. 2 Desember 2018. “Melestarikan Kesenian Ebeg Banyumasan Sebagai Upaya Memelihara Kesenian Rakyat”. Jurnal Warna, Vol 2, No.2. 

Bahri, Aditya Syaeful. 2015. “Pertunjukan Kesenian Ebeg Grup Muncul Jaya pada Acara Khitanan di Kabupaten Pangandaran”. Universitas Pendidikan Indonesia: Bandung.

Fatmawati, Emilya. 2021. “Melestarikan Kesenian Ebeg di Banyumas”. Diakses dari https://alif.id/read/eft/melestarikan-kesenian-ebeg-di-banyumas-b239734p/ 

Kartika Rosa. 2012. “Seni Kuda Lumping Menurut Pandangan Islam”. Diakses dari https://rosakartika.wordpress.com/2012/12/23/seni-kuda-lumping-menurut-pandangan-islam/ 

Arman, Dedi. 2018. “Kesenian Rakyat Kuda Kepang (Ebeg) di Bintan”. Diakses dari https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/kesenian-rakyat-kuda-kepang-ebeg-di-bintan/ 

KumparanTravel. 2020. “Tradisi Ebeg, Kala Makhluk Astral Meminjam Tubuh Manusia untuk Berpesta”. Diakses dari https://kumparan.com/kumparantravel/tradisi-ebeg-kala-makhluk-astral-meminjam-tubuh-manusia-untuk-berpesta-1tM68Tgt3Ls 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sistem Sosial-Budaya Etnis Bugis di Wilayah Karangantu, Banten

Situs Watu Meja: Konstruksi Bangunan Megalitik di Tengah Hutan Desa Cilongok, Banyumas.