Masjid Saka Tunggal: Destinasi Wisata Sejarah Islam bersama Kawanan Monyet

Hallo, fellas. Buat kalian yang tinggal di Banyumas, mimin ada rekomendasi tempat wisata sejarah Islam yang mungkin bisa kalian masukin wishlist jalan-jalan nihh. Yepp, masjid saka tunggal. Loh masjid emang apa menariknya? Jangan salah bestie, masjid ini umurnya udah ratusan taun lohh dan banyak juga keunikannya, salah satunya kalian bisa bertemu banyak kawanan monyet liar yang tinggal di hutan sekitaran masjid, jadi ngga cuma ngeliat masjid aja, tapi kalian juga bisa mencoba pengalaman ngasih makan monyet. Tapi hati-hati buat yang bawa barang bawaan yahh, karena monyetnya nakal jadi takut di sebat kalo bawa kantong dan sejenisnya. 

Buat yang muslim juga kalian bisa merasakan pengalaman sholat di salah satu masjid tertua di Banyumas ini yang didalamnya memiliki saka tunggal yang dihias dengan ukiran dan warna yang cantik. Pastinya akan bisa memanjakan mata dan batin kalian nih^^

Nahh untuk lebih jelasnya bagian apa saja yang bisa kalian pelajari dan temukan di masjid saka tunggal, mari simak penjelasan mimin berikut ini~


A. Sejarah Masjid Saka Tunggal

Mengutip dari Syamsul Ma’arif dan Nur Rohman dalam Jurnal Pendidikan Sejarah berjudul “Sejarah Masjid Saka Tunggal Baitussalam di Desa Cikakak Wangon Kabupaten Banyumas Jawa Tengah” (2018: Vol 5), pendirian Masjid Saka Tunggal dirintis oleh K.H. Mustholih.

Edhi Chatit dalam Babad Alas Mertani (2011), menyebutkan bahwa K.H.Mustholih tinggal cukup lama untuk berdakwah Islam di Desa Cikakak yang  kala itu masih banyak melakukan perbuatan menyimpang dari ajaran agama Islam. Beliau berpikir bahwa penting untuk mendirikan pusat dakwah. Maka dibangunlah sebuah masjid dengan satu saka besar yang kemudian dikenal dengan nama Masjid Saka Tunggal sebagai pusat dakwahnya kala itu. Untuk waktu atau tahun berdirinya masjid ini memiliki beberapa versi cerita.

Versi pertama yang dikutip dari Muhammad Abdullah dalam Peninggalan Kepurbakalaan, Sejarah dan Nilai Tradisi Banyumas (2011), menyebutkan bahwa Masjid Saka Tunggal berdiri pada tahun 1288 Masehi. Sebagai buktinya, terdapat angka 1288 yang terukir di tiang atau saka tunggal masjid ini. Jika hal itu benar, maka artinya masjid ini lebih tua dibanding Majapahit, kerajaan Hindu-Budha terbesar di Nusantara. Majapahit sendiri didirikan oleh Raden Wijaya pada 1293 Masehi sebagai kelanjutan dari kerajaan Singasari. Hal yang janggal dari teori atau versi ini adalah bahwa di tahun tersebut, agama yang banyak berkembang dan di anut oleh masyarakat adalah Hindu-Budha dan eksistensi Islam masih sedikit. Namun, hal tersebut memang tidak menutup kemungkinan mengenai kebenaran tersebut, kerena dalam berita China dari zaman Dinasti Tang sendiri menyebutkan bahwa Islam telah masuk ke wilayah Nusantara pada 674 Masehi atau  abad ke 7, dengan buktinya yaitu di pantai Barat Sumatera telah terdapat perkampungan bernama Barus dan Fansur, yang dihuni oleh orang-orang Arab yang memeluk Islam.

Sedangkan untuk versi kedua sejarah masjid ini, menyatakan bahwa pada tahun 1288 sudah berdiri bangunan tempat peribadatan, namun saat itu masih difungsikan sebagai tempat ibadah Hindu-Budha sesuai kepercayaan yang berkembang di masa itu. Baru kemudian pada tahun 1522, ketika K.H. Mustholih membawa ajaran Islam ke daerah tersebut, bangunan tersebut kemudian beralih fungsi menjadi masjid sebagai tempat ibadah umat Islam. Teori ini terdengar lebih meyakinkan dikarenakan di saka tersebut memang terdapat 2 tulisan tahun yang kemungkinan menjadi tanda awal berdirinya dan ketika tempat tersebut dialih fungsikan.

Selain kedua versi cerita tersebut, ada juga yang mengatakan bahwa sebetulnya  tulisan tahun 1288 merupakan tahun Hijriyah yang jika dikonversikan ke tahun Masehi maka merujuk pada tahun 1522. Sehingga keduanya benar dan hanya berbeda dari sudut pandang penanggalannya saja.

Di tengah perkembangan kedua teori tersebut, juru kunci masjid saka tunggal sendiri, bapak Sulam, mengungkapkan kemungkinan masjid ini dibangun sebelum masa kerajaan Majapahit itu memang masih belum jelas kebenarannya. Namun, dari cerita turun-temurun yang beliau dengar dari kakek-buyutnya, beliau mempercayai bahwa masjid ini sudah ada sebelum Kesultanan Demak Bintoro berdiri.

 

B. Keunikan Masjid Saka Tunggal

1) Ritual Ganti Jaro

 

Ritual ini adalah ritual mengganti  pagar bambu di sekeliling Masjid Saka Tunggal yang digelar setiap bulan Rajab. Saat proses pergantian jaro atau pagar ini pun terdapat pantangan yang harus ditaati oleh warga seperti dilarang berbicara dengan suara keras dan tidak boleh menggunakan alas kaki. Proses ini melibatkan ratusan warga sekitar dan biasanya dapat selesai dalam kurun waktu 2 jam saja.  

Tradisi Ganti Jaro ini dimaknai oleh warga sekitar sebagai sarana untuk memupuk kebersamaan antar-masyarakat dan dipercaya menghilangkan sifat jahat dari diri manusia. Ritual ini diakhiri dengan prosesi arak-arakan 5 gulungan yang berisi nasi tumpeng yang kemudian diperebutkan warga karena dipercaya dapat membawa keberkahan.

2) Tradisi unik Masjid

Setiap sebelum dan sesudah shalat Jumat,  jamaah masjid Saka Tunggal biasa melakukan tradisi berdzikir dan bersholawat dengan nada yang seperti sedang melantunkan Kidung Jawa. Uniknya, bahasa yang digunakan pun berupa campuran antara bahasa Arab dan Jawa. Pun juga dengan khutbahnya yang disampaikan seperti melantunkan sebuah kidung. Keunikan lainnya yaitu, seluruh rangkaian sholat Jumat di masjid ini dilaksanakan secara berjamaah mulai dari tahiyatul masjid hingga ba’diah dzuhur.

Masjid ini juga memiliki 4 orang muazin yang berpakaian sama dengan imam yaitu menggunakan baju lengan panjang berwarna putih dan udeng bermotif batik. Keempat muazin tersebut bertugas mengumandangkan adzan secara bersamaan. Masjid Saka Tunggal hingga saat ini juga masih mempertahankan tradisi untuk tidak mengumandangkan adzan dengan pengeras suara. Meski demikian, suara adzan yang dilantunkan tetap terdengar begitu lantang dan merdu dari keempat muazin tersebut.

3) Adanya Kawanan Kera Ekor Panjang



Keunikan masjid Saka Tunggal lainnya adalah adanya ratusan kera jenis ekor panjang yang hidup liar mendiami wilayah hutan sekitar masjid. Keberadaanya juga menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung yang datang, kera tersebut biasanya akan turun saat pagi hari secara berkelompok, pengunjung dapat memberi makan seperti biji-bijian atau kacang-kacangan, namun perlu berhati-hati jika membawa dalam bentuk dijinjing karena kera tersebut terkenal liar sehingga dapat langsung direbut oleh kawanan monyet-monyet tersebut.

Penduduk setempat juga kerap dibuat repot oleh aksi kawanan monyet yang menyerbu rumah warga untuk mencari makanan. Mereka biasanya akan memporak porandakan genteng, masuk kerumah-rumah warga, mencuri makanan, serta menyerbu kebun-kebun buah milik warga. Sehingga warga cenderung tidak lagi menanami komoditas perkebunan seperti pisang, kelapa, rambutan, dsb. karena sebelum berbuah saja sudah mulai diambil monyet.

Juru kunci wilayah, Bapak Sulam, menyebut ada 5 kelompok monyet yang hidup di sekitar hutan Masjid Saka Tunggal dan 5 kelompok tersebut cenderung tetap dengan jumlah populasi sekitar 200 ekor. Meskipun suka membuat keributan dan repot warga sekitar, namun monyet-monyet ini tidak pernah diperlakukan buruk oleh warga, bahkan sudah dianggap sebagai bagian hidup sehari-hari warga Cikakak. Tingkah monyet-monyet itu telah dimaklumi oleh warga sekitar dan bahkan warga akan dengan sukarela berbagi makanan sisa dengan monyet tersebut.

Keberadaan monyet ini, tak luput dari legenda yang berkembang, ceritanya berkembang secara turun -temurun dari mulut ke mulut. Diceritakan bahwa pada masa penyebaran agama Islam, Kyai Mustholih mendirikan masjid dan mendirikan padepokan mengaji. Suatu hari saat waktu shalat Jumat berlangsung, beberapa santri lelaki justru asyik mencari ikan di sekitar masjid dan tidak menunaikan shalat. Tak hanya itu, kegiatan mereka juga mengganggu jamaah shalat Jumat. Kyai Mustholih pun dibuat marah dan menghardik santri tersebut serta mengatakan bahwa kelakuan santrinya tidak berbeda dengan monyet yang nakal dan susah diatur. Sebagaimana legenda kyai zaman dulu yang memiliki daya linuwih, ungkapan tersbut menjadi kenyataan dan santri-santri nakal tersebut berubah menjadi monyet.

Mengenai kebenaran legenda ini memang tidak dapat dibuktikan, namun dari cerita ini, ada pesan mulia yang bahwasannya yang membedakan manusia dengan hewan adalah perilakunya. Jika manusia tidak memiliki rasa kemanusiaan, akal, dan hati, maka tak ada bedanya dengan monyet atau hewan.


C. Mitos dan Kepercayaan yang berkembang di wilayah Masjid Saka Tunggal

Disamping keunikan dan nilai sejarah yang ada di wilayah masjid Saka Tunggal ini, terdapat pula mitos atau kepercayaan bagi sebagian orang yang mempercayainya, bahwa di tempat pesarean atau makam orang-orang terdahulu yang ada di sebelah masjid Saka Tunggal ini digunakan sebagai tempat melakukan ritual pesugihan. Hal ini memang sudah tersebar bebas sampai ke luar wilayah desa Cikakak itu sendiri dan sudah menjadi rahasia umum jika seseorang dari luar Cikakak yang mengunjungi makam biasanya bertujuan untuk melakukan ritual pesugihan. Area makam tersebut juga tidak bisa dimasuki oleh sembarang orang, harus dari seizin atau ditemani oleh juru kunci wilayah.

Mereka yang melakukan ritual di makam Kyai Mustholih selaku leluhur pendiri Masjid Saka Tunggal guna memperoleh kekayaan atau meminta hal lainnya, biasanya melakukan ritual hingga beberapa malam. Sebagai gantinya, mereka juga harus mencari tumbal yang biasanya juga dari keluarga mereka sendiri. Konon katanya, seseorang yang menjadi tumbal tersebut nantinya akan mati dan menjadi kera di wilayah masjid tersebut. Namun, penuturan Bapak Subagyo (juru kunci makam) justru tidak membenarkan perbuatan demikian. Penghormatan terhadap leluhur tidak lebih dari rasa takzim, bukan sebagai sarana untuk memperoleh suatu berupa kekayaan, jabatan, atau jodoh.

Saat saya bertanya pada salah seorang warga penjual kacang di tempat wisata tersebut juga menjelaskan bahwa hal-hal seperti itu bergantung pada kepercayaan masing-masing orang saja. Tidak ada yang pasti dan dapat dibuktikan. Namun, beliau juga sempat menjelaskan bahwa saat bulan Rajab di minggu ke-2, yang biasanya bertepatan dengan Ritual Ganti Jaro, ada sekitar 50-70an orang yang datang dari luar wilayah Desa Cikakak dan mereka masing-masing membawa ayam seolah hal tersebut merupakan kewajiban bagi orang-orang itu setiap tahunnya. Warga tersebut tidak secara rinci menjelaskan kegiatan yang orang-orang tersebut, namun secara tersirat memberitahu memang ada ritual pesugihan tersebut.

Wilayah makam leluhur memang kerap dihubung-hubungkan dengan hal yang bersifat gaib serta mendatangkan kekayaan bagi yang bersedia melakukan rangkaian ritualnya atau pesugihan untuk memperbaiki nasib. Hal tersebut tentunya memang tidak dibenarkan karena mereka sejatinya sedang bersekutu dengan setan. Kegiatan yang ada si makam keramat tersebut sebenarnya tidak ada kaitannya dengan masjid saka tunggal itu sendiri. Karena dalam masjid tersebut tidak ada unsur mistis yang berkembang dan hanya difungsikan sebagai masjid pada umumnya dengan keunikan tradisinya sendiri.

 

D. Eko-Sufisme Islam Aboge Masjid Saka Tunggal Cikakak, Banyumas

Eko-sufisme adalah etika lingkungan berbasis spiritual. Eko berasal dari eco (Inggris) yang dimaknai sebagai lingkungan hidup, habitat, atau rumah. Sedangkan sufisme atau tasawuf berarti dimensi spiritual dalam Islam (Suwito, 2011: 3). Ketika kita memperlakukan alam dengan baik, maka hubungan kita dengan Tuhan juga baik. Begitu juga sebaliknya, ketika kita memperlakukan alam dengan buruk, maka  hubungan kita dengan Tuhan juga buruk (Suwito, 2011: 13).

Aboge merupakan akronim dari Alip Rebo Wage, yang berarti bahwa hari pertama di tahun pertama yakni tahun Alip jatuh pada hari Rebo Wage, perhitungan kalendernya merupakan pertemuan sistem kalender Saka dan Hijriah. Lebih dari 98% penduduknya beragama Islam dan 90% diantaranya menganut Aboge. Masyarakat Aboge sangat toleran dalam menyikapi perbedaan termasuk dalam waktu peribadatan.

 

Penganut Aboge juga sangat patuh kepada leluhur, terutama Kyai Mustholih sebagai leluhur yang menyebarkan agama Islam di Cikakak. Masyarakat Aboge sangat menjaga ajaran-ajaran yang diwariskan Kyai Mustholih, mulai dari perkara peribadatan, penjagaan alam, hingga penghayatan hidup. Oleh karena itulah, masyarakat sangat menjaga tumbuhan dan hewan-hewan di sekitar desa Cikakak karena dianggap pamali. Ketidakberanian penganut Aboge untuk merusak alam membuat keadaan alam di sekitar Desa Cikakak menjadi terjaga. Walaupun sikap mereka didasari oleh rasa takut akan pamali, namun hal tersebut diakui memberikan dampak positif pada alam. Selain dampak pada penjagaan alam, rasa takzim pada leluhur juga memberi efek positif pada kondisi kejiwaan masyarakat Cikakak. Mereka senantiasa bersyukur denga napa yang mereka miliki, hal ini dapat dilihat dari kebiasaan masyarakat yang sering berziarah ke makam Kyai Mustholih bersama-sama sebagai penghormatan dan untuk mendoakannya. Mayoritas penduduk Cikakak yang bekerja sebagai Petani juga membuat suasana alam di Desa Cikakak sangat terasa, selain itu masyarakat juga mengungkap bahwa faktor lingkungan sosial yang masih kental suasana  kekeluargaanya membuat desa terasa sejuk dan nyaman (Mochammad Lathif Amin, 2017: Vol 14).

 

E. Struktur Bangunan Masjid Saka Tunggal

 



Dibalik kisah legenda, mitos, dan kemistisan wilayah sekitar masjid Saka Tunggal, kedamaian dan kesejukan melingkupi wilayah dalam masjid ini, dengan bahan dasar tembok yang separuhnya masih menggunakan anyaman bambu bermotif wajik, memberikan kesan bahwa masjid ini memang masjid tua. Interior masjid yang berukuran 15 x 17 meter dan dilengkapi dengan ventilasi udara serta dari struktur tembok dari anyaman membuat semilir angin dapat terasa di dalamnya. Material dinding masjid ini awalnya hanyalah anyaman bambu dan kayu, namun kemudian dilakukan penambahan dinding bata untuk eksterior masjid dengan tujuan untuk preservasi atau pemeliharaan.

Pada bagian mimbar mimbar masjid juga terdapat ukiran berupa  dua buah surya mandala yang yang melambangkan dua pedoman umat Islam yaitu Al-Qur’An dan Hadits. Ornamen-ornamen dalam masjid juga masih kental dengan simbol-simbol Islam yang terakulturasi dengan nilai-nilai tradisi adat istiadat jawa. Hal ini menggambarkan harmonisasi Islam dengan budaya lokal yang sudah ada sebelumnya.

Terdapat sekat antara tempat shalat untuk laki-laki dan perempuan yang dipisahkan oleh pintu-pintu yang berjumlah 5 buah dan 4 buah tangga. Saka Tunggalnya sendiri terdapat di bagian depan masjid atau di tempat shalat untuk laki-laki. Saka tersebut kurang lebih berukuran 40 x 40 centimeter dengan tinggi sekitar 5 meter dengan motif ukiran seperti batik yang berwarna warni serta dilindungi kaca.

Filosofi saka tunggal yang dijelaskan oleh juru kunci adalah bersatunya atau manunggalnya manusia dan Sang Pencipta. Manusia menghormati Sang Pencipta dan Sang Pencipta menciptakan manusia untuk berbuat hal-hal baik. Pada bagian ujung atas saka tunggal tersebut juga terdapat empat sayap kayu yang disebut 4 kiblat, 5 pancer yaitu merujuk 4 arah mata angin dan angka 1 sebagai pusat atau arah menunjuk ke atas. Maknanya, kita hidup harus memiliki kiblat atau pedoman, yaitu Allah.

Tetapi bapak Sulam juga menjelaskan jika sebenarnya sudah banyak ornamen asli pada Masjid Saka Tunggal yang sudah mengalami perubahan. Sehingga ornament aslinya sudah tidak bisa lagi dilihat oleh generasi sekarang. Karena bangunan masjid sudah mengalami perubahan di tahun 1976 dan yang masih utuh hanya saka tunggalnya. Masjid Saka Tunggal sendiri juga baru masuk dan diakui sebagai salah satu cagar budaya pada tahun 1989 dan pada 1976 masih bernama masjid Baitussalam. Tetapi jauh sebelum itu, masjid ini memang tidak memiliki nama dan dikenal oleh masyarakat sebagai masjid Cikakak. 


REFERENSI

Amin, Mochammad Lathif. (2017). Eko-Sufisme Islam Aboge Masjid Saka Tunggal Cikakak Banyumas. Jurnal Penelitian, 14, 171-192.

Arbi, Aryo. 2021. “Mengintip Masjid Saka Tunggal yang Usianya Hampir 500 Tahun”, diakses dari https://www.google.com/amp/s/purwokerto.inews.id/amp/read/169/mengintip-masjid-saka-tunggal-yang-usianya-hampir-500-tahun pada 26 November 2021

Ayyubi, Saladin. 2018. “Sejarah dan Keunikan Masjid Saka Tunggal”, diakses dari https://daerah.sindonews.com/berita/1288744/29/sejarah-dan-keunikan-masjid-saka-tunggal? Pada 26 November 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sistem Sosial-Budaya Etnis Bugis di Wilayah Karangantu, Banten

Situs Watu Meja: Konstruksi Bangunan Megalitik di Tengah Hutan Desa Cilongok, Banyumas.